Sabtu, 27 Februari 2010

Flip Flop

Malam itu Flip memang tak bertemu Flop, malam itu ada mitos yg merengangkan langkah yang belum menemukan arah, malam itu seharusnya aku tak perlu kurangkai anthena yang menghubungkan bathinmu dengan dimensi yang kunamakan mimpi...diam-diam menjadi saksi atas ruang-mu,padahal aku hanya berdiri di depan pintu. ya,malam itu terlalu dini untuk aku berucap sumpah, aku tautkan ketakutanku pada sebanyak bilangan titik hujan di luar jendela, jadi terpalku terasa percuma, kita tetap dingin dan semakin beku...semakin beku...

--------------------------------------------

Flip memang tak bertemu flop, ada mitos yang semakin kuat aku ingkari,saat kulitmu hanya berjarak tak lebih dari sejengkal dari kulitku. Ada tembok yang semakin menjulang,dan aku kehilangan kuasa untuk robohkan. Hingga aku tak melihatmu, dan kau tak melihatku...mari,bisakah kita melihat melalui indra yang lain.agar kita mengerti...

----------------------------------------

Malam ini Flip tak berusaha mencari Flop, dan mitos...hanyalah sebuah pemikiran tak bertuan. Transmisi yang kubangun mungkin tak kunjung roboh dan usang, kendatipun ruangmu gelap dan menyempit. Malam ini imaji-ku hanya mencari jawab untuk menenangkan syaraf-syaraf bathin-ku. Malam ini mimpi terlalu dini jika mengajakmu berperan. Karena hujan belum reda, dan kita masih beku.

-15 feb 2010-

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Sabtu, 13 Februari 2010

Aku bukan aku

Aku bukan kunang-kunang yang mencintai gelap, bukan pula gelap yg tak mempunyai bayangan, bukan pula bayangan yang tak ikuti gerak, bukan gerak yang tak beriak,riak-ku berontak saat kehilangan jarak

Aku bukan penghuni yang tak mengenal rumah, bukan rumah yang tak mengenal tanah, bukan pula tanah yang gembur tak berkerikil, bukan kerikil yang berguling menuju lembah, lembah-ku tandus saat rintik hujan tertahan awan

Kamu tak mengenaliku seolah jelaga kuasai cahaya, memudar serupa jam yang tak mengenal menit, dan menit yang tak mengenal detik. Padahal bukankah kita berjalan pada titian jembatan takdir yang sama?. Menolehlah sejenak, karena aku disinipun karena jejakmu...

Hatiku mungkin bukan isyarat yang dititipkan takdir...hanya sebuah rahasia yang menuntunmu ke ujung.
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Kamis, 04 Februari 2010

Langit-langit Kamar

Dialah langit-langit kamarku, yang menghakimiku sebelum seluruh organ tubuhku mematikan generatornya.
Juga tempat dimana kuadukan segala beban, gelisah maupun bahagiaku.
Seperti layar yang memutarkan potongan-potongan film yang kuperankan hari ini,,,inikah aku?aku tersenyum untuk setiap kebodohanku dari sejak aku terbangun hingga berada disini kembali.
Ya, ada orang aku buat jengkel, ada yang mencibirku, ada yang menertawakan, bahkan ada yang sakit hati karenaku.
Tapi ada jg beberapa org yang kubuat tersenyum, tertawa, dan tersipu.
Tak hanya itu, ujar langit-langitku.
Lihatlah kesalahan yang kau lakukan hari ini.
Batinku terdiam...menyaksikannya, ini tanganku, kakiku, mataku, mulutku, hati dan fikiranku, seolah tak menggunakan fungsinya dengan baik, banyak hal yang seharusnya tercipta,tapi aku tiadakan, ada yang seharusnya kuutamakan, tapi kubelakangkan, hal yang penting, tapi ku tak hiraukan, banyak hal yang aku tuhan-kan, padahal bukan itu pemberiku hidup, dan aku mengabaikan itu,setelah seluruh nikmat dan pertolongan penciptaku limpahkan.
Hatiku malu saat aku dihakimi untuk hal yang satu ini.



Kau adalah saksi atas setiap hariku, dalam semua musim dijiwaku. saat hujan dan kemarauku,saat mendung dan pelangiku.
Hingga saat salju membekukan aku.
Siapa lagi selain langit-langit kamarku yang menyaksikanku terbangun saat pagi menuntunku ke arah sang takdir, baik saat dikuasai hasrat ataupun keharusan.
Aku seperti kerdil yang menaruhkan hidupnya diatas keluasan takdir, terlalu banyak kesalahan yang menenggelamkanku perlahan dalam rawa-rawa waktu, tapi terlalu banyak kebetulan jg yang menyelamatkan aku.
Dan aku bersyukur untuk itu.



Lihat aku langit-langit kamarku.
Hanya kau saksi atas lelah,dan putus asaku, yang terkadang aku sembunyikan rapat-rapat dibalik kantong bajuku, tak ingin satupun menyaksikan kelemahanku.
Hanya kau saksi atas ketakutanku, akan hari esok, yang mungkin bisa meninggalkanku sendirian dalam kamar yang gelap, kita tak pernah tahu itu, yang pasti saat ini aku masih ingin melihatmu memegang erat lampu itu, agar aku tetap terang dan hangat, dan jangan pernah padamkan, kecuali aku sendiri yang memadamkan.



Langit-langit kamarku, engkaulah yang paling tahu siapa aku...bahkan ketika aku tidak mengenal diriku sendiri, tidak memahami inginku sendiri, saat semua org melihatku menari, bernyanyi dan tertawa diluar sana.
Padahal terkadang yang terjadi setelah itu adalah aku berlari,mengunci kamar, dan menangis di balik selimut itu.
Menumpahkan semua rasa sakitku tanpa bahasa, hingga hanya sunyi yang memahami bahasa yang diutarakan hatiku.
Kaulah cerminku, saat kutengadahkan wajahku, kau selalu membisikiku rasa percaya akan hari esok, bahwa kau selalu ada saat aku terbangun memulai hariku.
Ah,tak kuingkari,sesungguhnya sisi manusia-ku butuh selain kau yang menjadi pendengarku, yang menjadi semangatku, yang menghakimi-ku, membisikiku rasa percaya. Dan itu adalah sesuatu yang bernyawa.



Hari-hari yang kulewati seperti dinamika dalam lagu, yang mengalunkan nada dari lembut ke keras lalu kembali lembut, ada distorsi yang memekakkan, namun dituntun oleh alunan string dan piano yang manis, ada beat drum yang keras namun dihantarkan oleh harmoni bass yang menyeimbangkan,dan semuanya itu indah, jadi tidak ada alasan untukku berhenti bernyanyi pada dunia yang selalu mengajariku.



Dibawah langit-langit kamarku ini segala picisan tertuang, saat kucoba melerai diriku dari kata 'lebay', dan mencoba jujur.
Aku ingin terlelap tanpa diadili waktu, dan terbangun tanpa dipaksa hasrat.
Langit-langitku menutup layarnya perlahan seiring dengan kelopak mataku.
Selamat malam langit-langit kamarku.zzzzzz.....

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Senin, 01 Februari 2010

Akhir Musim


Siapa yang menduga aku melabuh pada sore ini, sore biasa namun dingin dan bisunya seperti dini hari, tirakat apa yang menuntun hatiku melabuh pada surga yang terjal berkelakar ini, dibawah langit dusta aku bersiul kegirangan, seperti anak kecil bermain diatas permainan pasar malam. Adakah orang yg merasa bahagia dan ngilu dalam satu waktu yang bersamaan?, cemas dan riang bersamaan?, itulah aku… itulah aku dan hasratku. Aku betah berada disini, bersama sel-sel tubuhmu dan otakmu, hatimu, nafasmu serta hiasan senyum itu, menjadi suatu paket lengkap untuk takdirku yang tadinya kufikir tak kan se-nyaman ini. Benar, merindukanmu adalah hal yang lebih nyaman dari selimut 'butut'ku. Kau tahu benar, seperti apa seharusnya aku dicintai, hanya kau…sayangnya…hanya kau…

Tapi sore ini, kenyataan tengah mengajakku kompromi, yang aku fikirkan hanyalah bagaimana aku bisa melompati kenyataan tersebut. Ketika satu persatu waktu mengetuki, menuntunku berjalan di setapak, mengayuh hasrat ke hulu, yaitu tempat yang sama sekali tidak aku inginkan, saat dimana aku harus berdamai dengan kenyataan dengan menjadi seorang yang bijak. Kendatipun musim semi bersamamu belum berakhir, namun rumahku, hidupku, menantikan pergantian musim berikutnya, hanya untuk sebuah kepastian, yaitu hidup bersamamu selamanya atau hanya berakhir sampai musim ini.

Bersamamu aku seperti bunga yang tumbuh di musim semi, merekah cantik seolah mengalahkan tumbuhan yang lain, aku bahagia…namun haruskah bahagia itu dipertanyakan?. Untukku memang harus, karena aku bunga yang tumbuh di ladang orang, merekah cantik karena pupuk dusta. Aku bahagia bersamamu kendatipun kau bukan milikku, tapi miliknya…

Setelah seribu tawa, canda, tangis dan pertengkaran kau sentuh hatiku, aku sungguh sangat tidak ingin menyerah, setelah seribu kali hatiku berkata; satu hari lagi saja, satu jam lagi saja, satu detik lagi saja, aku tidak bisa melakukannya. ya Tuhan…aku sungguh belum siap kehilangannya. Lalu haruskah…haruskah aku mempertanyakannya sekarang?. Lalu setelah ini apa? Kau akan meninggalkan wanita itu? Meninggalkan aku? Atau tidak memilih…kau tetap bahagia? Kau tak bahagia?, dan aku akan sendiri, membeku, membiru, dengan hatiku…atau seperti apa?



Setelah kutunggu beberapa lama, akhirnya kau datang, kini kau tepat dihadapanku, hatiku memekakan kumpulan syaraf otakku, ingin meneriakkan pada seluruh dunia ; "aku mencintaimu, sungguh mencintaimu". Sejenak sadarku beralih, meniadakan niat yang semula kukumpulkan. Hasratku melemah, logikaku melemah, selalu kehilangan kekuatan di hadapanmu. Bibirmu menyentuh keningku, mengantarkan pesan manis lewat aliran darahku. Tuhan beri aku kekuatan, untuk berperang melawan nuraniku sendiri, kekuatan untuk berbuat benar, buatlah hasratku memahami akan sakitnya sebuah penghianatan, agar jiwaku berhenti menari diatas janji suci seorang wanita.

Detik berlalu, menit berlalu, mulutku seolah kehilangan pita suara untuk bicara, tanganku mengepal, seolah berbicara memerlukan tenaga yang begitu besar, tak ada yang keluar selain nafasku yang tak beraturan.

"Hey, kamu kenapa?" tanyamu, yang sejak tadi ternyata memperhatikan kebisuanku. Aku hanya balik menatapnya, tanpa bisa menyelami matanya. Lalu segera berpaling kembali.

"ada yang salah?", masih tanyamu sambil menggeserkan tubuhmu lebih dekat denganku . Jelas ini semua salah…masi juga kau pertanyakan, gumamku dalam hati. Ku kumpulkan seluruh kekuatanku, manusia-manusia kecil dalam hatiku seolah bergotong royong untuk melemparkan sebentuk kalimat dari mulutku…

"Aku perlu bicara, tentang…kita…"akhirnya kalimat pertama pun terucap, seluruh tubuhku membeku, hingga ujung jariku…kau menunduk dan sedikit menjauh.

"aku tahu aku salah…" Ujarmu seolah mengerti apa yang hendak aku bahas.

"bukan kamu, kita…kita salah"

"lalu aku harus bagaimana?". Tanyamu, setengah berbisik,wajahmu mulai menengadah dan menantang tatapanku…kini mataku kuberanikan untuk bertahan melawan tatapanmu.

"aku hanya lelah terus bersembunyi…"

"kamu nyerah?"

"bukan masalah nyerah, lagian aku sedang tidak melawan siapapun, aku hanya mempertanyakan posisi aku…".

Giliran kau yang membisu, seolah kehilangan sebuah jawaban, garis wajahmu tak mengisyaratkan apapun selain tanya, tersudut oleh sempitnya sebuah pemikiran, kini berujung pada sebuah kenyataan yang harus terjawab, mungkin jawabannya sesulit soal ujian akhir, atau justru kau sudah punya jawabannya, namun sulit mengatakannya.

"please, kasih aku waktu sedikit lagi…"

"tapi sampai kapan? Sampai dia tahu tentang kita?". Aku tidak bermaksud memojokkan-mu, demi tuhan, aku tak ingin membebanimu dengan apapun, aku hanya ingin membuatmu bahagia, memberimu sejuta cinta seperti tetesan hujan, namun bagaimanapun hujan harus mengalah pada mentari.

"aku gak mau kehilangan kamu…"ujarmu lirih,

sejuta perasaan dalam jiwaku campur aduk mendengar perkataanmu itu.

"tapi bagaimanapun kamu harus memilih…aku…atau…dia?". Jantungku berdetak semakin kencang, nafasku kehilangan tempo-nya.


"Aku tidak tahu…".



Setelah sekian lama bersamaku, dan juga bersamanya hanya kata 'tidak' yang kamu tahu…sesulit itukah menjadi dirimu, ataukah ini masih separuh dari egois-mu, yang tidak ingin melepaskan keduanya…aku menyukaimu karena kepintaranmu, aku selalu terkesan dengan luasnya wawasanmu, sudut pandangmu, caramu mengambil sikap…tapi kali ini aku seperti berada di hadapan sosok yang berbeda…karena kamu tampak begitu bodoh, tidak bisa menjawab sebuah pertanyaan yang sederhana dariku.



"aku bisa saja meninggalkan dia, lalu bersamamu…tapi…" lanjutmu, namun seolah ada yang mengganjal tenggorokanmu untuk melanjutkan kalimat itu



"tapi, dia lebih dulu dari aku, dan aku tidak lebih baik dari dia…?"jawabku

"bukan…"



"kamu gak yakin sama aku…?". Tanyaku lirih,Pesimisku mulai muncul, ditambah dengan diammu, aku seperti menggali sebuah lubang untukku dan perlahan masuk semakin dalam dan semakin dalam. Hatiku bergejolak, mendidih tak tertahan, kemudian menyublim dan menetes menjadi air mata, yang perlahan turun dari kelopakku.


"ya…"jawabmu lemah



"kamu gak yakin aku bisa lebih baik dari dia?".



"ya…mungkin…"jawabmu semakin melemah.



Hatiku semakin bergejolak, kini bertambah sesak, seperti ribuan nujum menusuk ulu hatiku, aku sakit….ya, aku sudah tahu jawabannya sekarang. Inilah kepastian yang selalu mengusikku, akhirnya aku tahu…tanpa harus mendengarkan kelanjutan ucapanmu.



"tapi aku mencintaimu…sungguh, aku gak ada niat buat nyakitin kamu, aku juga gak nyangka kalau ujungnya jadi kaya gini…plis, ngertiin aku, aku sayang kamu…lebih dari yang kamu tahu". Kamu mencengkram pundakku erat, menatap ku dengan tajam, memaksa aku untuk percaya



Aku masih terisak, dan semakin tak mampu berkata apa-apa…semuanya sudah sangat percuma, aku akan berhenti memperjuangkan cintaku



"terus sekarang gimana? Kalau kamu lebih merasa yakin untuk menjalani hidup dengan dia, aku mesti gimana?. Seberapa besarpun aku mencintaimu, udah gak ada gunanya lagi…". Ujarku dengan suara serak dan intonasi meninggi



Kamu melepaskan cengkramanmu perlahan, sejenak hanya isak tangisku yang terdengar di ruangan ini…detik-detik waktu yang berdetak semakin membukakan jarak untuk kita, menarik tubuh dan jiwaku kembali ke tempat semestinya.



"maafin aku…"ujarmu



Aku tak kuasa berkata apa-apa lagi…perlahan suara gerimis di luar jendela berubah menjadi rintik hujan, seperti sore dimana pertama kalinya aku memulai roman picisan ini denganmu. Hingga aku menyudahi peranku sore ini. "maaf" Itu adalah kata terakhirmu sebelum kau beranjak pergi meninggalkanku, menyisakan sepotong kesendirian dan parut tertoreh dihati.



Musim semi-ku telah berakhir, sang bunga layu, gugur, dan berganti musim dingin, aku telah kehilangan musi semi-ku, kehilangan selimutku yang nyaman. yang ada hanya sepi, lirih dan beku…tak ada lagi jinga-nya sore, hanya biru, karena kau baru saja patahkan hatiku…



Begitulah aku kehilangan cintaku…

November, 20th 2009

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT