
Siapa yang menduga aku melabuh pada sore ini, sore biasa namun dingin dan bisunya seperti dini hari, tirakat apa yang menuntun hatiku melabuh pada surga yang terjal berkelakar ini, dibawah langit dusta aku bersiul kegirangan, seperti anak kecil bermain diatas permainan pasar malam. Adakah orang yg merasa bahagia dan ngilu dalam satu waktu yang bersamaan?, cemas dan riang bersamaan?, itulah aku… itulah aku dan hasratku. Aku betah berada disini, bersama sel-sel tubuhmu dan otakmu, hatimu, nafasmu serta hiasan senyum itu, menjadi suatu paket lengkap untuk takdirku yang tadinya kufikir tak kan se-nyaman ini. Benar, merindukanmu adalah hal yang lebih nyaman dari selimut 'butut'ku. Kau tahu benar, seperti apa seharusnya aku dicintai, hanya kau…sayangnya…hanya kau…
Tapi sore ini, kenyataan tengah mengajakku kompromi, yang aku fikirkan hanyalah bagaimana aku bisa melompati kenyataan tersebut. Ketika satu persatu waktu mengetuki, menuntunku berjalan di setapak, mengayuh hasrat ke hulu, yaitu tempat yang sama sekali tidak aku inginkan, saat dimana aku harus berdamai dengan kenyataan dengan menjadi seorang yang bijak. Kendatipun musim semi bersamamu belum berakhir, namun rumahku, hidupku, menantikan pergantian musim berikutnya, hanya untuk sebuah kepastian, yaitu hidup bersamamu selamanya atau hanya berakhir sampai musim ini.
Bersamamu aku seperti bunga yang tumbuh di musim semi, merekah cantik seolah mengalahkan tumbuhan yang lain, aku bahagia…namun haruskah bahagia itu dipertanyakan?. Untukku memang harus, karena aku bunga yang tumbuh di ladang orang, merekah cantik karena pupuk dusta. Aku bahagia bersamamu kendatipun kau bukan milikku, tapi miliknya…
Setelah seribu tawa, canda, tangis dan pertengkaran kau sentuh hatiku, aku sungguh sangat tidak ingin menyerah, setelah seribu kali hatiku berkata; satu hari lagi saja, satu jam lagi saja, satu detik lagi saja, aku tidak bisa melakukannya. ya Tuhan…aku sungguh belum siap kehilangannya. Lalu haruskah…haruskah aku mempertanyakannya sekarang?. Lalu setelah ini apa? Kau akan meninggalkan wanita itu? Meninggalkan aku? Atau tidak memilih…kau tetap bahagia? Kau tak bahagia?, dan aku akan sendiri, membeku, membiru, dengan hatiku…atau seperti apa?
Setelah kutunggu beberapa lama, akhirnya kau datang, kini kau tepat dihadapanku, hatiku memekakan kumpulan syaraf otakku, ingin meneriakkan pada seluruh dunia ; "aku mencintaimu, sungguh mencintaimu". Sejenak sadarku beralih, meniadakan niat yang semula kukumpulkan. Hasratku melemah, logikaku melemah, selalu kehilangan kekuatan di hadapanmu. Bibirmu menyentuh keningku, mengantarkan pesan manis lewat aliran darahku. Tuhan beri aku kekuatan, untuk berperang melawan nuraniku sendiri, kekuatan untuk berbuat benar, buatlah hasratku memahami akan sakitnya sebuah penghianatan, agar jiwaku berhenti menari diatas janji suci seorang wanita.
Detik berlalu, menit berlalu, mulutku seolah kehilangan pita suara untuk bicara, tanganku mengepal, seolah berbicara memerlukan tenaga yang begitu besar, tak ada yang keluar selain nafasku yang tak beraturan.
"Hey, kamu kenapa?" tanyamu, yang sejak tadi ternyata memperhatikan kebisuanku. Aku hanya balik menatapnya, tanpa bisa menyelami matanya. Lalu segera berpaling kembali.
"ada yang salah?", masih tanyamu sambil menggeserkan tubuhmu lebih dekat denganku . Jelas ini semua salah…masi juga kau pertanyakan, gumamku dalam hati. Ku kumpulkan seluruh kekuatanku, manusia-manusia kecil dalam hatiku seolah bergotong royong untuk melemparkan sebentuk kalimat dari mulutku…
"Aku perlu bicara, tentang…kita…"akhirnya kalimat pertama pun terucap, seluruh tubuhku membeku, hingga ujung jariku…kau menunduk dan sedikit menjauh.
"aku tahu aku salah…" Ujarmu seolah mengerti apa yang hendak aku bahas.
"bukan kamu, kita…kita salah"
"lalu aku harus bagaimana?". Tanyamu, setengah berbisik,wajahmu mulai menengadah dan menantang tatapanku…kini mataku kuberanikan untuk bertahan melawan tatapanmu.
"aku hanya lelah terus bersembunyi…"
"kamu nyerah?"
"bukan masalah nyerah, lagian aku sedang tidak melawan siapapun, aku hanya mempertanyakan posisi aku…".
Giliran kau yang membisu, seolah kehilangan sebuah jawaban, garis wajahmu tak mengisyaratkan apapun selain tanya, tersudut oleh sempitnya sebuah pemikiran, kini berujung pada sebuah kenyataan yang harus terjawab, mungkin jawabannya sesulit soal ujian akhir, atau justru kau sudah punya jawabannya, namun sulit mengatakannya.
"please, kasih aku waktu sedikit lagi…"
"tapi sampai kapan? Sampai dia tahu tentang kita?". Aku tidak bermaksud memojokkan-mu, demi tuhan, aku tak ingin membebanimu dengan apapun, aku hanya ingin membuatmu bahagia, memberimu sejuta cinta seperti tetesan hujan, namun bagaimanapun hujan harus mengalah pada mentari.
"aku gak mau kehilangan kamu…"ujarmu lirih,
sejuta perasaan dalam jiwaku campur aduk mendengar perkataanmu itu.
"tapi bagaimanapun kamu harus memilih…aku…atau…dia?". Jantungku berdetak semakin kencang, nafasku kehilangan tempo-nya.
"Aku tidak tahu…".
Setelah sekian lama bersamaku, dan juga bersamanya hanya kata 'tidak' yang kamu tahu…sesulit itukah menjadi dirimu, ataukah ini masih separuh dari egois-mu, yang tidak ingin melepaskan keduanya…aku menyukaimu karena kepintaranmu, aku selalu terkesan dengan luasnya wawasanmu, sudut pandangmu, caramu mengambil sikap…tapi kali ini aku seperti berada di hadapan sosok yang berbeda…karena kamu tampak begitu bodoh, tidak bisa menjawab sebuah pertanyaan yang sederhana dariku.
"aku bisa saja meninggalkan dia, lalu bersamamu…tapi…" lanjutmu, namun seolah ada yang mengganjal tenggorokanmu untuk melanjutkan kalimat itu
"tapi, dia lebih dulu dari aku, dan aku tidak lebih baik dari dia…?"jawabku
"bukan…"
"kamu gak yakin sama aku…?". Tanyaku lirih,Pesimisku mulai muncul, ditambah dengan diammu, aku seperti menggali sebuah lubang untukku dan perlahan masuk semakin dalam dan semakin dalam. Hatiku bergejolak, mendidih tak tertahan, kemudian menyublim dan menetes menjadi air mata, yang perlahan turun dari kelopakku.
"ya…"jawabmu lemah
"kamu gak yakin aku bisa lebih baik dari dia?".
"ya…mungkin…"jawabmu semakin melemah.
Hatiku semakin bergejolak, kini bertambah sesak, seperti ribuan nujum menusuk ulu hatiku, aku sakit….ya, aku sudah tahu jawabannya sekarang. Inilah kepastian yang selalu mengusikku, akhirnya aku tahu…tanpa harus mendengarkan kelanjutan ucapanmu.
"tapi aku mencintaimu…sungguh, aku gak ada niat buat nyakitin kamu, aku juga gak nyangka kalau ujungnya jadi kaya gini…plis, ngertiin aku, aku sayang kamu…lebih dari yang kamu tahu". Kamu mencengkram pundakku erat, menatap ku dengan tajam, memaksa aku untuk percaya
Aku masih terisak, dan semakin tak mampu berkata apa-apa…semuanya sudah sangat percuma, aku akan berhenti memperjuangkan cintaku
"terus sekarang gimana? Kalau kamu lebih merasa yakin untuk menjalani hidup dengan dia, aku mesti gimana?. Seberapa besarpun aku mencintaimu, udah gak ada gunanya lagi…". Ujarku dengan suara serak dan intonasi meninggi
Kamu melepaskan cengkramanmu perlahan, sejenak hanya isak tangisku yang terdengar di ruangan ini…detik-detik waktu yang berdetak semakin membukakan jarak untuk kita, menarik tubuh dan jiwaku kembali ke tempat semestinya.
"maafin aku…"ujarmu
Aku tak kuasa berkata apa-apa lagi…perlahan suara gerimis di luar jendela berubah menjadi rintik hujan, seperti sore dimana pertama kalinya aku memulai roman picisan ini denganmu. Hingga aku menyudahi peranku sore ini. "maaf" Itu adalah kata terakhirmu sebelum kau beranjak pergi meninggalkanku, menyisakan sepotong kesendirian dan parut tertoreh dihati.
Musim semi-ku telah berakhir, sang bunga layu, gugur, dan berganti musim dingin, aku telah kehilangan musi semi-ku, kehilangan selimutku yang nyaman. yang ada hanya sepi, lirih dan beku…tak ada lagi jinga-nya sore, hanya biru, karena kau baru saja patahkan hatiku…
Begitulah aku kehilangan cintaku…
November, 20th 2009
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT